PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PERGURUAN
TINGGI
Oleh: Evi
Fudzliyati/202210631013087
Mahasiswa PPG
Prajabatan Universitas Muhammadiyah Malang
Jurusan PGSD
Kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapapun dan kapanpun. Kekerasan
seksual bisa terjadi dalam berbagai bentuk dan merugikan pribadi, organisasi
maupun lembaga. Pembahasan mengenai topik pencegahan dan penanganan kekerasan
seksual di lingkungan perguruan tinggi (PPKS) menjadi penting karena riset dan
berita menyatakan bahwa 88% dari total kasus yang di adukan ke Komnas Perempuan
(2020) merupakan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan
dan 35% nya diadukan dari universitas. Padahal seharusnya pendidikan merupakan
tempat yang nyaman dan aman untuk belajar seperti yang dikatakan oleh Mentri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Bapak Nadiem
Makarim bahwa “Pendidikan tinggi merupakan batu loncatan, maka setiap kampus di
Indonesia harus merdeka dari segala bentuk kekerasan dan menjadi lingkungan
yang kondusif bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensinya”. Kekerasan seksual
dapat menghambat pencapaian prestasi akademik atau karir korban, korban
kehilangan kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal, peserta
didik keluar sekolah sebelum waktu kelulusan, pendidik dan tendik kehilangan
mata pencahariannya di dunia pendidikan, mendiskreditkan satuan pendidikan yang
berakibat pada terhambatnya pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas
dan sesuai nilai-nilai pancasila dan UUD 1945.
Kekerasan seksual yang terjadi terkadang sulit untuk di buktikan
diantaranya karena korban kekurangan bukti, namun tidak memiliki bukti bukan
berarti tidak pernah terjadi. PPKS perlu di tegakkan oleh kita semua,
Pemerintah mengambil langkah serius untuk melindungi korban dengan pasal 5
Permendikbudristek No 36 Tahun 2021 berisikan tentang macam-macam kekerasan
seksual yaitu kekrasan verbal, fisik, non fisik, ataupun melalui teknologi
informasi dan komunikasi. Korban tetap dapat melapor untuk mendapatkan
perlindungan meskipun tanpa bukti fisik. Pasal 1, Permendikbudristek Nomor 30
Tahun 2021 “ kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina,
melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang,
karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat
berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan
reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi
dengan aman dan optimal.” Sanksi kepada pelaku akan di dasarkan pada dampak
akibat perbuatannya terhadap kondisi korban dan lingkungan kampus, bukan
didasarkan pada peluang pelaku bertobat.
Hal yang sekarusnya dilakukan ketika menemui korban kekerasan
seksual diantaranya dengan mendengarkan
dan menangapi cerita korban dengan serius tanpa mengintimidasi serta mengontrol
emosi. Meyakini bahwa hal tersebut terjadi buka karena salahnya karena kekerasan
bisa terjadi pada siapapun dan kapanpun, tegaskanlah bahwa mereka tidak sendiri.
Gunakan keterampilan komunikasi yang interktif dan penuh empati. Memberi
dukungan bisa berupa membantu korban untuk berani menceritakan masalahnya untuk
mendapat tindak lanjut, melaporkan kasus dan menumpulkan bukti-bukti.
Selanjutnya melaporkan kasus pada pihak berwenang yaitu Satgas PPKS Kampus atau
langsung ke pengaduan Kemendikbudristek. Berani melporkan tindak kejahatan
seksual selain merupakan bentuk penanganan juga merupakan bentuk pencegahan
karena bila setiap kasus yang terjadi di tangani maka akan menjadi pelajaran
bagi orang lain untuk memikirkan perbuatannya agar tidak terkena sanksi
sehingga akan timbul rasa takut untuk melakukan kekerasan seksual.